Sabtu, 06 Maret 2010

Demokrasi Di Indonesia

Demokrasi di Indonesia adalah sistem politik yang kompatibel dengan keragaman suku bangsa, budaya, adat dan agama masyarakat, namun pelaksanaan demokrasi tersebut di Indonesia, masih dimaknai sebatas prosedural. Padahal kualitas demokrasi tidak menjawab keinginan rakyat dengan maksimal.
Demikian dikatakan Ketua DPD Irman Gusman dalam seminar nasional Mencari Pasangan Gubernur Sumbar yang Ideal yang diadakan LKBN Antara dan sejumlah kampus di Padang, Sabtu (6/3). "Pemilu presiden dan wakil presiden langsung serta pemilu kepala daerah sering kali dianggap sebagai prestasi dan keberhasilan demokratisasi. Kita sering terjebak pada dasar pemahaman itu," tuturnya.
Munculnya kecenderungan turunnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah, menurut Irman, karena democratic performance belum maksimal dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan sesuai harapan masyarakat.
"Fenomena tersebut seharusnya tidak terjadi karena pemimpin di era sekarang mendapat mandat langsung dari rakyat. Namun, kenyataannya sistem demokrasi langsung belum berbanding lurus dengan kepuasan publik," kata Irman.
Terkait dengan pemimpin Sumbar ke depan, menurut Irman, harus mampu mengubah brain drain menjadi brain circullation dan brain gain seperti yang terjadi di China, Taiwan, India dan Israel.
Mendagri Gamawan Fauzi yang berbicara dalam acara serupa mengatakan sejak disahkannya PP Nomor 19 tahun 2010, kewenangan gubernur menjadi lebih kuat. Meski UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah mengatur fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang memiliki kewenangan pengawasan, koordinasi,dan pembinaan.

"Namun kewenangan tersebut masih terbatas, beberapa kasus di Indonesia masih ditemukan bupati/ wali kota yang mengabaikan keberadaan Gubernur karena merasa dirinya dipilih oleh masyarakat," papar Gamawan.
Menurut mantan Gubernur Sumbar itu, otonomi daerah tidak lahir sendiri tapi diberikan pemerintah pusat. "Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah. Jika otonomi merupakan pemberian, tentu harus mau diatur oleh yang memberikan kewenangan.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peratura
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pili kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar