Jumat, 06 November 2009

Sejarah Koperasi, Merefleksikan Kembali Ekonomi Kerakyatan

S2 Juli pekan kemarin koperasi Indonesia tepat berulang tahun yang ke 61. Jumlah tersebut tentu tidak bisa dibilang muda, jika di ukur dengan usia manusia. Dengan usia itu pula koperasi mestinya sudah banyak melakukan kegiatan yang mendorong ekonomi kerakyatan di satu sisi dan perekonomian nasional secara lebih luas pada sisi lain.

Sayang, kini, kiprah koperasi nyaris tertelan soko perekonomian lain. Koperasi kian tergeser dari percaturan ekonomi nasional. Tidak sedikit koperasi-koperasi di pedesaan, yang sempat menjadi andalan, kini tinggal puing bangunan tak terawat, tak ada lagi aktivitas perkoperasian. Namun, koperasi tak sepenuhnya mati.

Kesimpulan di atas kembali muncul setelah membaca buku M. Iskandar Soesilo yang diterbitkan atas kerja sama Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) dan RMBooks, berjudul Dinamika Gerakan Koperasi Indonesia Corak Perjuangan Ekonomi Rakyat dalam Menggapai Sejahtera Bersama. Kehadiran buku ini sendiri terasa begitu spesial karena diterbitkan persis pada tanggal 12 Juli, saat kebanyakan orang kembali merefleksikan, mungkin juga mempertanyakan ulang, kiprah koperasi di Indonesia.

Buku tersebut banyak mengurai sejarah koperasi, baik dalam skala global maupun nasional. Darinya kita tahu bahwa paruh kedua abad ke-18 sampai permulaan abad ke-19 adalah masa-masa awal perintisan gerakan koperasi di dunia. Bola salju gerakan koperasi bermula dari Inggris. Rochdale adalah kota yang menjadi sentral dari gerakan ini. Pengilhamnya adalah Robert Owen (1771-1858) dan William King (1786-1885). Dari sini, bola salju gerkan koperasi terus bergulir ke Scotlandia, Perancis, Jerman, Belanda, Denmark, hingga ke Italia, Rusia, dan hampir seluruh Eropa.

Namun demikian, abad itu juga dikenal memunculkan Revolusi Industri. Penanda kemajuan industri dan munculnya sebuah ideologi yang kemudian begitu menguasai sistem perekonomian dunia. Kita mengenalnya dengan nama kapitalisme. Ideologi ini, pada perjalanan sejarahnya, kemudian mendapatkan lawan sepadan dengan hadirnya sosialisme. Koperasi hadir di antara dua kekuatan besar ekonomi itu. Adi Sasono, Ketua Umum Dekopin, dalam kata sambutan buku ini, menyebutnya sebagai "jalan ketiga."

Indonesia sendiri sudah mengimplementasikan ide koperasi selang 51 tahun dari koperasi pertama di Rochdale. Raden Bei Aria Wiraatmadja memulai ide tersebut dari Banyumas. Pendirian Hulp en Spaarbank olehnya kemudian menuai dukungan dari para birokrat kolonial Belanda. Bahkan menjadi kebijakan integral pemerintah kolonial untuk bidang ekonomi di bumi Nusantara

Meski begitu, baru pada 1947 di Tasikmalaya-lah kongres pertama koperasi Indonesia terselenggara. Tahun itu juga yang hingga kini dianggap sebagai titik awal perjalanan koperasi Indonesia. Berlandaskan semangat kebersamaan dan gotong royong, dibungkus nilai-nilai luhur menolong diri sendiri, tanggung jawab, demokratis, persamaan, keadilan kesetiakawanan, kejujuran, tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap orang lain, gerakan koperasi menjadi alternatif yang sangat menjanjikan dalam rangka menopang perekonomian nasional yang berbasis pada ekonomi kerakyatan.

Sayang sejarah perkoperasian Indonesia kerap tidak memperlihatkan pembelaan terhadap ekonomi kerakyatan. Koperasi sering kali diabaikan dan cenderung dibiarkan "bertempur" dengan kekuatan-kekuatan yang sama sekali tidak imbang.

Meski ia juga sempat mendapat pembelaan dan diperhatikan dengan proporsional oleh pemerintah. Namun, kembali koperasi juga sempat berada pada posisi dijadikan alat politik oleh kekuatan tertentu di pemenntahan. Ia menjadi gerakan yang jauh lebih menguntungkan penguasa, ketimbang kesejahteraan rakyat sebagai tujuan asali-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar